
-Dari Foso Panen Padi, Maengket hingga Ibadah di Gereja dan Jamuan Makan Bersama-
Perayaan “Pengucapan Syukur” di Minahasa berakar dari perayaan pesta panen padi di masa leluhur. Di masa semua hal dilakukan secara “mapalus” atau dalam kebersamaan, maka panen padi adalah sebuah pesta rakyat. Ada fosso yang dipimpin oleh walian, lalu keramaian di malam hari, tarian maengket, dan tentu makan-makan dan minum-minum. Perayaan ini adalah ekspresi ucapan syukur atas “kamang” dari Opo Kasuruan Wangko berupa hasil padi, dan berkaitan dengan itu suatu syukur bahwa Yang Ilahi terus merestui kehidupan komunitas. Kehidupan yang bersyukur mengekspresikan visi kehidupan “pakatuan wo pakalewiren” yang secara teologis gereja menyebutnya “syalom”.
Pada masa lampau, pesta panen merupakan inti dari seluruh kehidupan agraris masyarakat Minahasa. Pada pesta ini kehidupan spiritual, sosial, dan ritual masyarakat menyatu. J.H.R. Broeder dalam artikelnya “De Rijstcultuur in de Minahassa” yang dimuat di majalah Buiten tahun 1933 mengisahkan suasana perayaan panen padi pertama yang penuh warna: para perempuan membawa sosiro baru, padi baru dipersembahkan dan dimakan dalam perjamuan bersama, seekor babi dikurbankan dan dihias untuk diarak dan dipanggang bersama keluarga, lalu dimakan dalam pesta besar yang disusul dengan tarian maengket—sebuah tarian kooperatif yang dinyanyikan dan ditarikan secara melingkar sambil menyanyikan lagu-lagu panen. Tarian ini bisa berlangsung berhari-hari, menggambarkan sukacita dan kebersamaan atas hasil panen yang berlimpah.
J. Alb. T. Schwarz dalam “Tontemboansche Teksten: Vertaling uitgegeven” yang terbit tahun 1907 mencatat pesta panen padi tersebut dengan urutan ritual yang rumit. Ritual atau foso tersebut dijalankan oleh para walian. Di dalam ritual ini terdapat pementasan tarian maengket yang dilakukan setelah upacara persembahan di batu tumotowa. Potongan kepala babi (warang) yang merupakan bagian kurban tertinggi dipersembahkan kepada Tona’as Wangko’, digantung di lumbung suci, lalu kemudian dibagikan kepada pemangku adat dan masyarakat. Ritual ini merupakan bentuk ucapan rasa syukur atas panen padi dan sekaligus upaya untuk menegaskan secara kosmologis bahwa komunitas dan alam sekitarnya masih dalam hubungan harmonis dengan kekuatan ilahi.
Perayaan ini sarat dengan simbolisme dan mitologi. Dalam deskripsi Schwarz, tarian Maengket bahkan menjadi medium manifestasi para leluhur agung (apo/opo), seperti Kasuruan si Nimema’ in Tana’ yang dipercaya turun dari Gunung Soputan, atau sandiwara ritual antara Ma’inturin dan Sinorotan—dua istri Apo Kumaimboto—yang dipentaskan oleh para imam perempuan yang mengalami trans. Hal ini menjadi tanda bahwa perayaan panen selain sebagai ritual ekonomi atau sosial, sekaligus juga bentuk drama suci tempat para leluhur agung dan Yang Ilahir hadir dan meneguhkan eksistensi masyarakat melalui panen. Maengket berlangsung hingga dua malam sebagai ungkapan kegembiraan dan penghormatan terhadap para leluhur. Schwarz mencatat dalam deskripsi ritual manëmpo’, bahwa tarian Maengket juga dilakukan oleh para imam laki-laki dan imam perempuan setelah persembahan dilakukan di sekitar batu suci. Kehadiran roh dewi Ma’inturin memperkaya dimensi spiritual dan dramatik tarian ini.
Masuknya Kristen Protestan dari Eropa sejak awal abad ke-19 membawa transformasi besar pada praktik-praktik ini. L. Adam, dalam tulisannya berjudul “Zeden en Gewoonten en het Daarmee Samenhangend Adatrecht van het Minahassische Volk” yang terbit tahun 1925 menyebutkan, tarian maengket yang dulu hadir sebagai bagian dari pesta panen telah hampir menghilang, hanya tersisa di daerah-daerah yang masih dianggap “heidens”. Lagu-lagu panen pun mulai tergeser oleh musik Barat—seruling dan trom yang dibunyikan selama mapalus menuai. Tradisi jamuan pasca-panen di ladang digantikan oleh kebaktian gereja yang disebut “pengucapan syukur”, yang dilakukan di gereja-gereja di daerah sawah (savvahstreken), misalnya di Tondano, bahkan dalam bentuk ibadah terbuka antar jemaat Kristen.
Kalau dulu walian yang memimpin fosso, kini pendeta atau pelayan gereja yang memimpin ibadah. Daging kurban digantikan oleh berkat makanan yang dibawa jemaat ke gereja, kemudian dibagikan sebagai simbol berkat Tuhan. Batu suci Tumotowa digantikan oleh altar, dan doa kepada Kasuruan Wangko kini ditujukan kepada Allah Kristen. Meskipun dari luar bentuknya menyerupai ibadah gerejawi biasa, “pengucapan syukur” dalam praktiknya tetap mempertahankan banyak unsur kolektif dan kultural lama. Misalnya, semangat makan bersama, berbagi makanan, dan menjamu tamu secara besar-besaran pada hari pengucapan masih sangat mencerminkan akar adat pesta panen mapalus. Dalam hal ini, transformasi tersebut tidak serta-merta menghapus tradisi lama, tetapi menstrukturkannya ulang dalam bingkai liturgi Kristen.
Hal ini mencerminkan pola inkulturasi yang khas. Perayaan panen dalam sistem religio-magis leluhur Minahasa tidak dihapuskan begitu saja oleh Kekristenan, melainkan dimodifikasi dan diberi makna baru. Jika dulu tarian maengket menjadi medium hadirnya ilahi, kini liturgi pengucapan dan lagu rohani menggantikannya sebagai ekspresi spiritual. Namun, baik dalam konteks lama maupun baru, inti dari perayaan tetaplah sama: ungkapan syukur kolektif atas kehidupan dan hasil bumi, serta penegasan identitas komunitas melalui tindakan bersama.
Sejarah ini menunjukkan bahwa “Pengucapan Syukur” di Minahasa bukan sekadar produk misi kolonial atau adaptasi Kekristenan, melainkan suatu bentuk keberlanjutan historis yang melewati transformasi budaya. Dari batu tumotowa ke mimbar gereja, dari nyanyian maengket ke lagu pujian, dari warang ke kue dan nasi jaha, semuanya merupakan lapisan-lapisan memori kolektif yang merayakan hubungan sakral antara manusia, tanah, dan Yang Ilahi. Maka, dalam setiap suapan makanan saat pengucapan, yang dikenang bukan hanya berkat hari itu, tetapi juga gema nenek moyang yang dahulu menari dalam maengket, memuji panen, dan merayakan hidup dalam mapalus yang penuh sukacita.
Dengan demikian, tarian mangket yang sudah dimodernisasi mestinya menjadi bagian penting dalam liturgi ibadah pengucapan syukur di rumah gereja. Rangkain liturgi mestinya merekonstruksi secara teologis unsur dan tahapan-tahapan perayaan panen padi di masa lampau. Ibadah pengucapan syukur di masa kini mestinya juga adalah suatu ekspresi religius kristiani yang Minahasa mengenai kesadaran tentang keutuhan relasi antara manusia, alam, Tuhan Allah dan pentingnya selalu mengingat sejarah kehidupan komunitas yang telah dimulai dan diusahkan oleh para leluhur di masa lampau. Kehadiran Allah melalui berkat jasmani dan rohani, serta kehidupan bersama yang terus berlanjut sejak komunitas wanua/roong terbentuk melalui peran para leluhur, kemudian kehadiran gereja yang memberitakan keselamatan di dalam Yesus Kristus adalah “kamang”. Hal inilah yang mestinya menjadi alasan dan kesadaran teologis yang penting untuk merayakan “pengucapan syukur”.
(Denni Pinontoan, 19 Juli 2025)